Semua orang di dunia ini tentu ingin memiliki
kekayaan, ketenangan, kesuksesan, dan kebahagiaan di dalam hidupnya. Namun,
untuk memiliki semua itu, maka kita harus mencapai semua itu dengan cara yang
halal.
Jangan sampai kita mendapatkan
kekayaan, tapi dengan cara membuat orang lain miskin. Jangan sampai kita ingin
mendapatkan ketenangan hidup, namun kita merusak ketenangan hidup orang lain
dan saudara kita. Jangan sampai kita ingin berbahagia, tapi kita tidak peduli
dengan orang-orang di sekitar kita yang hidupnya tidak bahagia.
Coba kita kembali untuk mendengarkan
suara hati kita yang terdalam. Sesungguhnya untuk menjadi sukses itu caranya
sangat sederhana. Namun sayangnya, banyak orang yang meremehkan dan tidak
peduli. Alhasil, untuk menjadi sukses pun menjadi susah.
Bila kita ingin sukses di dalam
kehidupan, maka kita harus tahu dan memahami beberapa pondasi yang harus kita
bangun.
Berikut ini adalah penjelasannya :
Pondasi Pertama, yaitu banyak bersyukur kepada Allah. Karena segala hal yang kita
miliki saat ini adalah pemberian dari Allah. Oleh karena itu, sudah sepatutnya
kita syukuri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ
اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu,
maka dari Allah-lah (datangnya)”. (QS. An Nahl:
53)
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ
حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ
تَعْبُدُونَ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari
rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika
kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An Nahl: 114).
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah
kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku,
janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152)
Pada ayat tersebut
Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan
untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah
kepada-Ku.” Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku
karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku
singkirkan sehingga tidak menimpa
kalian. Disebutkannya perintah untuk
bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu,
penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa
sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah
nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut
masih tetap ada.
Hendaknya setiap
orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal
senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Hal itu supaya Allah
menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri)
dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan
bersyukur.
“Karena lawan
dari syukur adalah ingkar atau kufur, Allah pun melarang melakukannya. Allah
berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan
kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka, itu
berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya,
tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada
itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling
besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam
perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan
sampai yang ada di bawah-bawahnya.” (Taisir
Karimir Rahman, hal. 74)
Al ‘Allamah Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam sebuah kitabnya yaitu Al Fawa’id, “Bangunan agama ini ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada
kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah: 152).”
Ketika bersyukur,
maka Allah kenikmatan yang kita miliki itu menjadi semakin banyak
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih” (Qs. Ibrahim: 7).
Pondasi Kedua, yaitu menggunakan yang sudah kita miliki untuk kebaikan. Karena banyak
orang yang ingin ini dan itu, tapi tidak mensyukuri apa yang sudah dimiliki.
Bahkan, banyak manusia yang seringkali mengabaikan dua hal yang sangat berharga
di dalam hidupnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.
Jangan sampai kita
menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Dari Ibnu Abbas, dia
berkata: Nabi shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada
keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. (HR Bukhari, no.
5933)
Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah menjelaskan: “Kenikmatan adalah keadaan yang baik. Ada
yang mengatakan, kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan bentuk
melakukan kebaikan untuk orang lain”. (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits no. 5933)
Ibnu Baththaal rahimahullah mengatakan: “Makna hadits ini bahwa seseorang tidaklah
menjadi orang yang punya waktu luang, sehingga dia tercukupi kebutuhannya dan
sehat badannya. Barangsiapa dua perkara itu ada padanya, maka hendaklah dia
berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur kepada Allah terhadap
nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Dan termasuk syukur kepada Allah
adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Barangsiapa melalaikan hal itu, maka dia adalah orang yang tertipu.” (Fathul Bari)
Kemudian sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam di atas “kebanyakan manusia tertipu pada
keduanya” ini mengisyaratkan, bahwa orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan)
untuk itu, hanyalah sedikit.
Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan: Kadang-kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak
longgar, karena kesibukannya dengan mencari penghidupan. Dan kadang-kadang
manusia itu cukup (kebutuhannya), tetapi dia tidak sehat. Maka jika keduanya
terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh kemalasan melakukan kataatan, maka dia adalah
orang yang tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia merupakan ladang
akhirat, di dunia ini terdapat perdagangan yang keuntungannya akan nampak di
akhirat.
Barangsiapa
menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk ketaatan kepada Allah, maka dia
adalah orang yang pantas diirikan. Dan barangsiapa menggunakan keduanya di
dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah orang yang tertipu. Karena waktu
luang akan diikuti oleh kesibukan, dan kesehatan akan diikuti oleh sakit, jika
tidak terjadi, maka itu berarti masa tua dan kita menjadi pikun.
Maka sepantasnya
hamba yang berakal bersegera beramal shalih sebelum kedatangan perkara-perkara
yang menghalanginya. Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda menasihati seorang laki-laki:
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ ,
شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتِكَ قَبْلَ سَقْمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ
فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
”Ambillah kesempatan
lima (keadaan) sebelum lima (keadaan). (Yaitu) mudamu sebelum pikunmu,
kesehatanmu sebelum sakitmu, cukupmu sebelum fakirmu, longgarmu sebelum
sibukmu, kehidupanmu sebelum matimu.” (HR. Al Hakim)
Pondasi Ketiga, yaitu
percayalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Percayalah kepada Allah Subhanahu Wa
Taala. Karena Allah yang mengatur kehidupan kita. Kita juga jangan percaya pada
tahayul, khurafat, jimat, hari sial, ramalan, zodiak, shio, dan mitos.
Karena hal-hal
itulah yang membuat kita menduakan Allah dan Allah sangat benci dengan hal itu.
Ketua Komisi Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum membaca ramalan, bintang, zodiak,
hari sial, mitos, tahayul, dan semisalnya.
Kemudian beliau
menjawab :
Yang disebut ilmu
bintang, horoskop, zodiak dan rasi bintang termasuk di antara amalan jahiliyah.
Ketahuilah bahwa Islam datang untuk menghapus ajaran tersebut dan menjelaskan
akan kesyirikannya. Karena di dalam ajaran tersebut terdapat ketergantungan pada
selain Allah, ada keyakinan bahwa bahaya dan manfaat itu datang dari selain
Allah, juga terdapat pembenaran terhadap pernyataan tukang ramal yang
mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dengan penuh kedustaan, inilah mengapa
disebut syirik.
Tukang ramal benar-benar
telah menempuh cara untuk merampas harta orang lain dengan jalan yang batil dan
mereka pun ingin merusak akidah kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan perihal
tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan
sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ
اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barangsiapa mengambil ilmu
perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir,
akan bertambah dan terus bertambah.” (HR. Abu Daud no.
3905, Ibnu Majah no. 3726 dan Ahmad 1: 311)
Begitu pula hadits
yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang jayyid dari ‘Imron bin Hushoin, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ
تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَّرَ أَوْ سُحِّرَ
لَهُ
“Bukan termasuk golongan kami, siapa
saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau
siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya, atau siapa
saja yang melakukan perbuatan sihir atau membenarkannya.” (HR. Al Bazzar)
Siapa saja yang
mengklaim mengetahui perkara ghaib, maka ia termasuk dalam golongan kaahin (tukang ramal) atau orang yang berserikat di dalamnya. Karena ilmu
ghaib hanya menjadi hak prerogatif Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml: 65).
Nasehatku bagi siapa
saja yang menggantungkan diri pada berbagai ramalan bintang, hendaklah ia
bertaubat dan banyak memohon ampun pada Allah (banyak beristighfar). Hendaklah
yang jadi sandaran hatinya dalam segala urusan adalah Allah semata, ditambah
dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i. Hendaklah ia
tinggalkan ramalan-ramalan bintang yang termasuk perkara jahiliyah, jauhilah
dan berhati-hatilah dengan bertanya pada tukang ramal atau membenarkan
perkataan mereka. Lakukan hal ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
dalam rangka menjaga agama dan akidah. (Dinukil dengan perubahan redaksi
dari Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 123)
Syaikh Sholih Alu
Syaikh –hafizhohullah– mengatakan, “Jika seseorang membaca halaman suatu koran yang berisi
zodiak yang sesuai dengan tanggal kelahirannya atau zodiak yang ia cocoki, maka
ini layaknya seperti mendatangi dukun. Akibatnya cuma sekedar membaca semacam
ini adalah tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Sedangkan apabila
seseorang sampai membenarkan ramalan dalam zodiak tersebut, maka ia berarti
telah kufur terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat At
Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid oleh Syaikh
Sholih Alu Syaikh pada Bab “Maa
Jaa-a fii Tanjim”, hal. 349)
Syaikh ‘Abdurrahman
bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Siapa saja yang menerjangi perkara-perkara yang
disebutkan dalam hadits tersebut, berarti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah berlepas diri darinya. Bisa saja perkara yang dilakukan adalah kesyirikan
seperti beranggapan sial. Bisa pula kekufuran seperti mempercayai tukang ramal
dan melakukan sihir. Siapa saja yang ridho dan mengikuti hal-hal tadi, maka ia
dihukumi seperti pelakunya karena ia menerima dan mengikuti hal yang batil.”
(Fathul Majid, 316)
Ada dua rincian
masalah mengenai percaya pada hal-hal tahayul :
1) Apabila
cuma sekedar membaca zodiak atau ramalan bintang, walaupun tidak mempercayai
ramalan tersebut atau tidak membenarkannya, maka itu tetap haram. Akibat
perbuatan ini, shalatnya tidak diterima selama 40 hari.
Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ
شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi tukang
ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230). Ini akibat dari cuma sekedar membaca.
Maksud tidak diterima
shalatnya selama 40 hari dijelaskan oleh An Nawawi: “Adapun maksud tidak
diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat
yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia
tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.” (Syarh Muslim, 14: 227)
1) Apabila
sampai membenarkan atau meyakini ramalan tersebut, maka dianggap telah
mengkufuri Al Qur’an yang menyatakan hanya di sisi Allah pengetahuan ilmu
ghoib.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ
بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau
tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al
Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad no.
9532, hasan)
Namun, jika seseorang
membaca ramalan tadi untuk membantah dan membongkar kedustaannya, semacam ini
termasuk yang diperintahkan bahkan dapat dinilai wajib. (Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1: 330)
Kita wajib
mengingkari setiap orang yang membaca ramalan bintang semacam itu dan kita
nasehati agar jangan ia sampai terjerumus dalam dosa. Hendaklah kita
melarangnya untuk memasukkan majalah-majalah atau menonton tayangan yang berisi
tahayul di rumah karena ini sama saja memasukkan tukang ramal ke dalam rumah.
Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar.
Oleh karena itu,
wajib bagi setiap penuntut ilmu agar mengingatkan manusia mengenai akibat
negatif membaca ramalan bintang. Hendaklah ia menyampaikannya dalam setiap
perkataannya, ketika selesai shalat lima waktu, dan dalam khutbah jum’at.
Karena ini adalah bencana bagi umat. Namun masih sangat sedikit yang
mengingkari dan memberi peringatan terhadap kekeliruan semacam ini.”
(Lihat At
Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 349)
Dari sini, sudah
sepatutnya seorang muslim tidak menyibukkan dirinya dengan membaca
ramalan-ramalan bintang, shio, dan berbagai tahayul serta khurafat melalui
majalah, koran, televisi, atau lewat pesan singkat via chatting. Begitu pula
tidak perlu seseorang menyibukkan dirinya ketika berada di dunia maya untuk
mengikuti berbagai hal tahayul dan khurafat yang ada. Karena walaupun tidak
sampai percaya pada ramalan tersebut, tetap seseorang bisa terkena dosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar