Keberhasilan
yang sudah kita raih itu harus dikelola dan dikendalikan dengan baik untuk
kebaikan, sehingga tidak menjerumuskan kita untuk menyalahgunakan ke arah perbuatan
negatif.
Menurut Master Chen Yen, ada dua perbuatan yang tidak boleh ditunda,
yaitu berbakti kepada orang tua dan berbuat kebajikan. Jadi, semua hasil
keberhasilan tersebut mestinya khusus untuk kebaikan.
Menurut Buku Kubik Leadearship yang ditulis oleh Jamil Zaini dkk, ada 4
TA sebagai hasil sukses hidup mulia tersebut, yaitu
1.
Harta
2.
Tahta
3.
Kata
4.
Cinta
Di bawah ini merupakan penjabaran dari 4 TA tersebut :
1. Harta
Hasil nyata dari jalan sukses dan tindakan sukses tersebut adalah sukses
dalam perolehan harta dalam jumlah banyak. Namun, harus dipastikan harta
tersebut diperoleh dari sumber dan cara yang halal.
Harta yang sudah kita miliki janganlah dijadikan sebagai ajang pamer.
Bukan untuk ditimbun supaya terlihat kaya raya karena memiliki banyak harta.
Bila harta tersebut tujuannya untuk ditimbun dan dipamerkan, maka akan
mendatangkan keburukan bagi diri kita.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah selain asal usul harta tersebut,
dan dihabiskan ke mana harta. Oleh karena itu, kita harus mendapatkan harta
dari sumber yang halal dan cara yang halal, serta dialokasikan ke jalan
kebaikan, sehingga harta tersebut bisa mendatangkan kebaikan kepada kita
walaupun kita sudah meninggal.
إِذَا مَاتَ
الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga
perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang
sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
2. Tahta
Bukti
kesuksesan yang lain adalah menduduki puncak karir, memiliki kekuasaan, ataupun
menjadi pemimpin bisnis yang sukses. Namun, untuk mendapatkan semua itu
tidaklah mudah. Banyak godaan dan banyak gangguan.
Secara umum, apabila kita memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua
orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang
justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan
lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى اْلإِمَارَةِ،
وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
(رواه البخاري)
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan”. (HR. Bukhari)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk
memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang
lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi pada manusia, menyombongkan diri
di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta
kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik
atau ‘calon pemimpin’ di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik
uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau
‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat
berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang
ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival
dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap
sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal ambisinya meraih posisi
tersebut. Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/`135):
“Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong
manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta,
dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya
diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan
bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak
akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat, kecuali siksa dan adzab.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ اْلأَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ
لاَ يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ
لِلْمُتَّقِيْنَ.
]القصص: 83[
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri di muka bumi dan pula membuat kerusakan. Dan akhir
yang baik1142 itu hanya untuk untuk orang-orang yang bertakwa”. (al-Qashash: 83)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya
mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya
negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan
musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan
diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di
hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak
sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka”. (Tafsir
Ibnu Katsir, 3/142)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyampaikan bahwa “Seseorang
yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan
manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang
demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan
bagiannya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta
jabatan”. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir
tentang kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba
Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru
sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program
perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain
hayalah ucapan yang manis di bibir.
Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi
bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang
menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang
yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar
tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya.
Namun, ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas
mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkanya dari jabatan tersebut. Hal ini
sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’. Ini sungguh perbuatan yang
memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan,
sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan
kerakusan terhadap jabatan lebih dari dari dua ekor serigala yang kelaparan
lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمِ
بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ.
(رواه الترمذي وصححه الشيخ مقبيل بن هادي)
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan
kambing lebih merusakan daripada seseorang terhadap agamanya karena ambisinya
untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam
Ash-Shahihul Musnad, 2/178)
Namun, yang harus menjadi catatan bagi kita adalah jabatan itu adalah
amanah. sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah.
Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya
yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang
tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas
tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ قاَلَ كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ.
(رواه البخاري)
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat.” Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan
menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab: “Apabila perkara itu diserahkan kepada
selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. (HR. Bukhari)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya
dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: “Angkatlah
kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah”. Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلاَ مَنْ
حَرَصَ عَلَيْهِ. (متفق علي
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya
dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan
karena permintaanya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya
sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah di atas: “Bila
engkau diberikan dengan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh
Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu
karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (Syarh
Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari 13/133, Nailul
Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia
diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi
jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan
kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika
mengomentari hadits Abu Dzar: “Hadits ini merupakan pokok yang agung
untuk menjauhi kepemimpinan terlebih bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan
tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan
diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan
kedudukan tersebut atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam
menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya,
dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya.”
Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka
akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang shahih seperti hadits: “Ada tujuh golongan yang
Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil”.
Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang
berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas
mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin
sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu karena banyaknya
bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memperingatkan darinya, demikian pula para ulama. Beberapa
orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai
pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan
tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 12/210-211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil
permintaan nabi Yusuf kepada penguasa Mesir:
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ اْلأَرْضِ إِنِّي
حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ.
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena ambisi beliau
untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk
memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau melihat
dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah dan menjaga terhadap apa yang
tidak mereka ketahui. (Taisir Kalimirrahman, hal. 401)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Nabi Yusuf meminta demikian karena
kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari
Allah terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang
sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang
terdahulu sebelum kita, karena mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf
pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/294)
Ketahuilah wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan
kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak
pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena
ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Al-Qadhi
Al-Baidhawi berkata: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang berakal,
bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan
penyesalan dan kerugian”. (Fathul Bari, 13/134)
Para pembaca yang budiman, semoga kita termasuk sebagai orang yang
amanah ketika memiliki jabatan dan kekuasaan.
3. Kata
Bukti kesuksesan yang selanjutnya adalah kata. Apa
maksudnya kata? Jadi begini, orang yang sudah sukses itu selain memiliki harta
yang banyak, jabatan yang tinggi, kekuasaan yang luas, maka harus menjaga
perkataan yang keluar dari mulut kita. Terlebih lagi kita harus menjaga
kata-kata yang kita sampaikan lewat tulisan di media online maupun media
offline.
Jangan sampai kita mengeluarkan perkataan yang
kasar lewat mulut kita. Jangan sampai kita menyakiti keluarga kita dan orang
lain melalui lisan kita yang mengeluarkan perkataan kasar.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا
أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia
berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq
‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Ibnu
Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna;
semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara
keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau
sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai
dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib
atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak
termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang
mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam
lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah
diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah
Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika
seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika
dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika
dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan
bicara).”
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits
no.10; dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat
dari ganguan lisan dan tangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ
“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab,
‘Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan
tangannya.’”
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65,
dengan lafal seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.
Tentang hadits (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam
Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Syarah
Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir‘,
maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang
menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan Allah maka
hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barang siapa yang beriman
kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap
pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan
segala yang dilarang-Nya. Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang
menjadi gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana
firman-Nya,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُوولًا
”Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan
dimintai pertanggung-jawaban.” (QS. Al-Isra’:36)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
”Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf :18)
Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang
disebutkan dalam firman-Nya,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا
تَفْعَلُونَ
”Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang
mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat
(pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’
(QS. Al-Infithar:10–12)”
Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil
lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’, no. 5136)
”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan
yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya,
sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)
Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna,
agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun
dari jerih payah amal kita di dunia.
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا
الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ
لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ
أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ
وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ
هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ
فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ
خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang
bangkrut?”
Para sahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut adalah orang yang
tidak memiliki uang dirham maupun harta benda.”
Rasulullah pun menjawab, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di
kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala
shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan
mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain.
Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila
amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan
tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu
diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR.
Muslim dalam Shahih-nya, no. 2581).
4. Cinta.
Bukti kesuksesan yang keempat, yaitu cinta. Untuk
apa kekayaan yang melimpah, apabila kita tidak punya rasa cinta di dalam hati
kita. Untuk apa kita punya jabatan yang tinggi, namun kita tidak mempunyai rasa
cinta kepada sesama. Untuk apa kita punya kekuasaan yang luas, namun kita zalim
kepada masyarakat.
Justru inti sukses yang paling inti adalah cinta.
Cinta bisa menjadi bahan bakar yang menggerakkan kita untuk mendapatkan
kesuksesan. Bahkan, bila cinta kita dilandaskan pada Allah, maka pertolongan
selalu datang kepada kita untuk menjalani kehidupan.
عَنْ مُعَاذ بْنِ جَبَلٍ رَِضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْ لُ الله
صلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : قَالَ اللهُ تَعَالَى : حَقَّتْ مَحَبَّتِي
لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْْمُتَوَاصِلِين فِيَّ وَ
حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَنَاصِحِيْنَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي
لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ ;الْمُتَحَابُّوْنَ فِيَّ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ
نُوْرٍ يَغْبِطُهُمْ بِمَكَانِهِمُ النَّبِيُّوْنَ وَ الصِّدِّيْقُوْنَ وَ
الشُّهَدَاءُ .
Dari Mu’adz bin Jabal –Radhiyallahu ‘anhu– beliau berkata: Telah
bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : “Allah
Ta’ala berfirman : ‘Orang yang saling mencintai karena-Ku pasti diberikan
cinta-Ku, orang yang saling menyambung kekerabatannya karena-Ku pasti diberikan
cintaKu dan orang yang saling menasehati karena-Ku pasti diberikan cintaKu
serta orang yang saling berkorban karena-Ku pasti diberikan cinta-Ku.
Orang-orang yang saling mencintai karena-Ku (nanti di akhirat) berada di
mimbar-mimbar dari cahaya. Para Nabi, shiddiqin dan orang-orang yang mati
syahid merasa iri dengan kedudukan mereka ini’”
(HR. Imam Ahmad dalam kitab Al-Musnad dan dishahihkan al-Albani dalam kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 4198).
(HR. Imam Ahmad dalam kitab Al-Musnad dan dishahihkan al-Albani dalam kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 4198).
Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menjelaskan amalan yang dapat mendatangkan kecintaan dari
Allah Ta’ala yang langsung dengan ungkapan firman Allah Ta’ala .
Hadits demikian dinamakan para ulama dengan hadits qudsi.
Dalam hadits qudsi ini Allah memerintahkan kita untuk mewujudkan
empat hal yang menjadi sebab kita menjadi hamba-Nya yang dicintai.
1) Perintah saling mencintai karena
Allah
2) Perintah saling menasehati karena
Allah
3) Perintah saling menyambung
persaudaraan karena Allah
4) Perintah saling berkorban karena
Allah.
Cinta juga membuat hati kita tenang dan hidup kita
diliputi dengan ketenangan. Karena cinta yang memang sandarannya jelas, maka
hatinya pun menjadi tenang dan pikirannya bersih, sehingga apa yang dilakukan
pun mengarah pada kebajikan.
Ketenangan hidup adalah karunia Allah yang hanya diberikan kepada
orang-orang yang beriman. Tentang hal ini Allah berfirman:
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Fath
[48]: 4)
Syaikh Abdurrahman As-Si’dy rahimahullah berkata, “Allah
mengabarkan tentang karunia-Nya atas orang-orang yang beriman dengan diturunkan
kepada hati mereka sakinah. Ia adalah ketenangan dan keteguhan dalam kondisi
terhimpit cobaan dan kesulitan yang menggoyahkan hati, mengganggu pikiran
dan melemahkan jiwa. Maka diantara nikmat Allah atas orang-orang yang beriman dalam
situasi ini adalah, Allah meneguhkan dan menguatkan hati mereka, agar mereka
senantiasa dapat menghadapi kondisi ini dengan jiwa yang tenang dan hati yang
teguh, sehingga mereka tetap mampu menunaikan perintah Allah dalam kondisi
sulit seperti ini pun. Maka bertambahlah keimanan mereka, semakin sempurnalah
keteguhan mereka.” (Taisir al Karim: 791)
ثُمَّ أَنْزَلَ
اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada
orang-orang yang beriman.” (QS. Al Taubah [9]:
26)
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ
عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي
قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath [48]: 18)
Cinta menumbuhkan ketenangan. Kita sadari bahwa ketenangan dalam hidup
kita mmang memberikan pengaruh yang sangat penting. karena kesuksesan juga
sangat bergantung kepadanya, maka bagaimanakah cara untuk meraih ketenangan
itu? Sebagian orang mencari ketenangan dengan perbuatan sia-sia, sebagian
mereka bahkan mencari ketenangan di tempat-tempat kemaksiatan. Semua itu keliru
dan fatal akibatnya. Alih-alih ketenangan, semua itu justru akan semakin
membuat hati diliputi kesedihan. Jika pun ketenangan didapatkannya, namun ia
adalah ketenangan yang palsu dan sesaat.
Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir al Syatsry –semoga Allah menjaganya- dalam
kitabnya “Hayâtu al Qulûb” menyebutkan arahan-arahan yang
terdapat dalam al Qur`an dan sunnah untuk meraih ketenangan tersebut:
1. Berkumpul dalam rangka mencari ilmu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada:
« مَا اجتمعَ قَوم في بيت من بُيُوتِ الله تباركَ
وتعالى يَتْلُونَ كتابَ الله عزَّ وجلَّ ، ويَتَدَارَسُونَهُ بينهم ، إِلا نزلت
عليهم السكينةُ ، وَغَشِيَتْهم الرحمةُ ، وحَفَّتْهم الملائكة ، وذكرهم الله فيمن
عنده »
“Tidaklah suatu kaum berkumpul sebuah rumah Allah tabaraka wa ta’ala,
mereka membaca Kitabullah azza wa jalla, mempelajarinya sesama mereka,
melainkan akan turun kepada mereka sakinah, rahmat akan meliputi mereka, para
malaikan akan mengelilingi mereka dan Allah senantiasa menyebut-nyebut mereka
dihadapan malaikan yang berada di sisi-Nya.” (HR Muslim no. 2699)
2. Berdoa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya pernah mengulang-ulang kalimat doa berikut dalam perang ahzab:
فَأَنْزِلَنَّ
سَكِيْنَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتِ الأَقْدَامِ إِنْ لَاقِينَا
“Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, serta teguhkan lah kaki-kaki kami saat kami bertemu (musuh)”
Maka Allah memberikan mereka kemenangan dan meneguhkan mereka.
3. Membaca al Qur`an.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ »
“Ia adalah ketenangan yang turun karena al Qur`an.” (HR Bukhari: 4839, Muslim: 795)
4. Memperbanyak Mengingat Allah
Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا
وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ
الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.” (QS. Al Ra’du [13]: 28)
5. Bersikap hati-hati dari perkara yang tidak
jelas (samar-samar).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْبِرُّ مَا سَكَنَتْ
إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَالإِثْمُ مَا لَمْ تَسْكُنْ
إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَإِنْ أَفْتَاكَ
الْمُفْتُونَ
“Kebaikan itu adalah yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tentram
kepadanya. Sementara dosa adalah yang jiwa meresa tidak tenang dan hati merasa
tidak tentram kepadanya, walaupun orang-orang mememberimu fatwa (mejadikan
untukmu keringanan).” (HR Ahmad no. 17894, dishahihkan
al Albani dalam Shahîh al Jâmi no: 2881)
6. Jujur dalam berkata dan berbuat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ الصِّدْقَ
طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Sesungguhnya jujur itu ketenangan dan dusta itu keragu-raguan.” (HR Tirmidzi no: 2518)
Begitu pun semua ketaatan kepada Allah dan sikap senantiasa bersegera
kepada amal shaleh adalah diantara faktor yang akan mendatangkan ketenangan
kepada hati seorang mukmin. Jika kita selalu mendengar dan berusaha untuk
mentaati Allah dan rasul-Nya, maka hati kita akan kian tenang dan teguh. Allah
berfirman :
“…Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan
kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih
menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka
pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan
yang lurus.” (QS. An Nisâ [4]: 68)
Jika kita dapat mempertahankan cinta di dalam hati kita sehingga
senantiasa teguh berada dalam jalan Allah, apapun yang terjadi kepada kita,
maka bergembiralah, karena kelak saat kita meninggalkan dunia yang fana ini,
akan ada yang berseru kepada kita dengan seruan ini:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam syurga-Ku.” (QS. Al Fajr [89]: 27-30)
(Lihat Hayâtu al Qulûb: 90-91)
Semoga kita bisa meraih empat unsur kesuksesan
tersebut. Yang harus kita garisbawahi adalah kesuksesan kita jangan hanya
sekedar untuk dunia, tapi juga akhirat. Karena kehidupan akhirat itu abadi,
sementara kehidupan dunia itu fana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar